Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari
bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan
and Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir,
melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka,
ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan
ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti
orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau
berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan
kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada
masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80). Secara
terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona.
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona.
Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to
situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan,
“Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing,
moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona,
karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan,
lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya
benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu
kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan
motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan
(skills).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka
berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia,
maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum,
tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul
konsep pendidikan karakter (character education).
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an.
ThomasLickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis
buku yangberjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul
bukunya, Educatingfor Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan
pentingnya pendidikan karakter. Pendidikankarakter menurut Lickona
mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the
good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan
(doing the good) (Lickona, 1991: 51). Pendidikan karakter tidak sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi
lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau
melakukan yang baik. Pendidikan karakter ini membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.
Dalam khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya
dengan akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan
dengan budi pekerti, tata susila, tata krama, atau sopan santun (Faisal
Ismail, 1988: 178). Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan
moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan
perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik
dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis
filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral
bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang (Muka Sa’id, 1986: 23-24). Etika lebih
memandang perilaku secara universal, sedang moral memandangnya secara
lokal. Untuk mengaplikasikan akhlak, etika, atau moral dalam diri
seseorang dimunculkan bidang ilmu yang disebut Pendidikan Akhlak,
Pendidikan Etika, atau Pendidikan Moral. Menurut T. Ramli (2003),
pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia
kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia
emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan
anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika
anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8
tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari
sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga,
yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk menanamkan dan membentuk sifat
atau karakter yang diperoleh dari cobaan, pengorbanan, pengalaman hidup,
serta nilai yang ditanamkan sehingga dapat membentuk nilai intrinsik
yang akan menjadi sikap dan perilaku peserta didik. Nilai-nilai yang
ditanamkan berupa sikap dan tingkah laku tersebut diberikan secara
terus-menerus sehingga membentuk sebuah kebiasaan. Dan dari kebiasaan
tersebut akan menjadi karakter khusus bagi individu atau kelompok.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal
tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk
membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus
ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan
reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi
custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut
Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari
Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease
and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul
be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success
achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk
menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat
ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan
muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam
menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini
tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan
insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat.
Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus
character that is the goal of true education” (kecerdasan yang
berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
0 komentar:
Posting Komentar